![]() |
Ilustrasi: CNBC Indonesia |
Oleh Putriyana
Aktivis Penulis
Beritakan.my.id - OPINI - Setiap tahun, menjelang Ramadan, harga berbagai barang di pasar-pasar di Kabupaten Bandung mengalami lonjakan yang signifikan. Dicky Anugerah, Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian, menyatakan bahwa persediaan bahan pokok di pasar sudah mencukupi. Namun, beberapa komoditas seperti cabai, telur ayam ras, dan lainnya mengalami kenaikan harga. Meski terdapat lonjakan tersebut, Dicky meyakinkan bahwa ketersediaan barang di lapangan tetap terjaga. (Tribunjabar.com, Selasa, 23/2/2025)
Tidak dimungkiri bahwa banyak masyarakat, terutama ibu rumah tangga, mengeluhkan fenomena ini. Harga kebutuhan pokok, mulai dari beras, minyak, hingga barang-barang lainnya, naik antara Rp1.000 hingga Rp2.000 dari harga sebelumnya. Bahkan, di beberapa daerah, banyak komoditas dijual di atas harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah, seperti Harga Acuan Pembelian (HAP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Salah satunya, Wakil Menteri Perdagangan Dalam Negeri, Bima Arya, mencatat bahwa harga minyak goreng telah melampaui HET sebesar Rp15.700 per liter di 166 kabupaten dan kota. Selain itu, harga gula pasir juga berada di atas HET sebesar Rp17.500 per kg di 148 kabupaten dan kota. (Antaranews.com, Selasa, 18/2/2025)
Terlebih lagi, pemerintah tampak hanya memantau kenaikan harga komoditas pangan tersebut tanpa mengambil langkah nyata untuk menstabilkan harga. Fenomena kenaikan harga bahan pokok yang berulang saat Ramadan mencerminkan adanya masalah dalam distribusi barang, potensi kelangkaan, hingga lonjakan harga.
Bertambahnya permintaan sering dijadikan alasan klise atas naiknya harga bahan makanan pokok menjelang Ramadan. Padahal ada sejumlah masalah lain yang memengaruhi fenomena ini, terutama di tengah menurunnya daya beli masyarakat. Permasalahan yang dimaksud mencakup jaminan kelangsungan produksi barang kebutuhan hingga masalah dalam rantai pasok, di mana negara gagal memberantas praktik mafia impor, kartel, dan monopoli.
Langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam merespons masalah ini seharusnya bisa menyentuh pada akar persoalan. Pemerintah ketika mengawasi harus lsngsung menindaklanjuti. Sebenarnya lonjakan permintaan menjelang Ramadan sudah dapat diprediksi, namun negara tidak mengambil inisiatif untuk menambah ketersediaan barang. Akibatnya, kelangkaan menjadi tak terhindarkan dan harga pun ikut melambung sehingga sebagian besar ketersediaan pangan berada di bawah kendali swasta, bukan negara. Maka dengan menggunakan sistem ini tidak akan terwujud tata kelola pangan yang mesejahterakan rakyat.
Negara seringkali tidak dapat mengambil tindakan tegas ketika korporasi melakukan praktik kecurangan, seperti menahan produksi komoditas demi meraih keuntungan yang lebih besar. Di saat yang sama, negara juga mengalami kesulitan saat korporasi menetapkan harga bahan pokok yang tinggi. Ketergantungan negara terhadap korporasi dalam hal ketersediaan pangan membuat situasi ini semakin rumit. Dalam sistem kapitalisme yang berlaku, korporatisasi di sektor pangan telah terjadi secara masif, sehingga stabilitas harga menjadi sulit terwujud. Bahkan, ketahanan dan kedaulatan pangan pun semakin terasa jauh dari kenyataan.
Berbeda halnya dengan negara yang menerapkan prinsip-prinsip Islam secara menyeluruh, termasuk dalam bidang ekonomi dan politik, seperti Khilafah Islamiah. Dalam Islam, negara berkewajiban bertindak sebagai pengurus umat atau raa'in. Salah satu bentuk pengurusan ini adalah memastikan kestabilan harga pangan agar dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Islam mewajibkan negara untuk menjamin ketersediaan pangan dan distribusi yang merata, sehingga setiap rakyat bisa mendapatkan kebutuhan dengan harga yang terjangkau dan mudah diakses. Negara juga akan berupaya meningkatkan produksi untuk mengatasi masalah kelangkaan, serta memantau dan mengendalikan harga komoditas sesuai dengan aturan syara, khususnya dalam sistem ekonomi Islam.
Dalam Islam, pemimpin itu hakikatnya pengurus dan pelayan rakyat. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.: "Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari)
Sebagai penanggung jawab utama atas persoalan pangan, negara tidak boleh membiarkan korporasi mengendalikan rantai penyediaan pangan demi keuntungan sepihak. Untuk menjaga stabilitas harga, Penguasa dalam Islam akan memastikan ketersediaan pangan agar pasokan dan permintaan tetap seimbang. Kebijakan ini diwujudkan dengan menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan optimal. Negara juga akan menegakkan hukum pertanahan yang sesuai syara untuk memastikan lahan pertanian dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, negara akan memberikan dukungan kepada para petani dalam bentuk modal dan infrastruktur yang diperlukan, serta mengatur penguasaan stok pangan.
Dalam menerapkan kebijakan distribusi pangan, negara akan menjaga rantai niaga dengan mencegah distorsi pasar. Beberapa langkah yang akan diambil adalah melarang penimbunan, praktik monopoli komoditas untuk keuntungan yang tidak wajar, dan tengkulak kartel, disertai penegakan hukum yang tegas dan memberikan efek jera sesuai dengan aturan Islam. Oleh karena itu, pelaksan syariat harus hadir untuk mengawasi rantai perdagangan dan menegakkan sanksi bagi mereka yang terbukti melakukan pelanggaran. Dengan demikian, penerapan prinsip-prinsip Islam dalam institusi Khilafah akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Wallahu a‘lam bissawwab.
Editor: Rens
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritakan akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritakan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.