![]() |
Ilustrasi: Pencitraan. Sumber: iStock. |
Oleh : Rahmi Lubis
Pemerintah resmi menurunkan harga tiket pesawat domestik kelas ekonomi sebesar 13 hingga 14 persen selama masa Angkutan Lebaran 2025.
Kebijakan itu katanya sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menurunkan harga tiket pesawat guna meringankan beban masyarakat, serta bertujuan untuk mendukung kelancaran, kemudahan, dan kenyamanan perjalanan masyarakat selama periode Angkutan Lebaran.
Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi seperti dikutip dari media Kompas, Senin (3/3) menyatakan, “Kebijakan penurunan harga tiket pesawat adalah bentuk komitmen nyata pemerintah, untuk memberikan kemudahan dan keringanan bagi masyarakat yang ingin merayakan Hari Raya Idul Fitri di kampung halaman".
Namun apakah kebijakan ini murni karena berpihak kepada rakyat?.
Sayangnya, kebijakan ini hanya merupakan kebijakan populis. Kebijakan yang berpihak pada kaum elite dan pengusaha demi kepentingan kaum politik tertentu. Tujuan utamanya hanyalah pencitraan.
Jika benar kebijakan pemerintah menurunkan harga tiket pesawat turun demi meringankan beban rakyat, lantas mengapa kebijakan ini hanya terjadi pada saat lebaran saja? Hanya 1 bulan dari 12 bulan?.
Inilah alasan mengapa kebijakan turunnya harga tiket saat lebaran bukan karena benar-benar untuk meringankan beban rakyat melainkan hanya pencitraan agar penguasa dikatakan sebagai pemimpin yang memerhatikan rakyatnya.
Pasalnya, naiknya tarif pajak dan diikuti dengan kenaikan harga BBM kemudian harga kebutuhan pokok yang fluktuasi menjadi pelengkap penderitaan rakyat saat ini. Maka wajar saja, pergantian pemimpin ternyata hanya membawa perubahan kebijakan semata namun tidak berdampak sedikitpun pada kesejahteraan rakyat.
Inilah Gambaran nyata dari sistem kapitalis-sekuler. Sistem kehidupan yang mengarah hanya kepada kaum penguasa dan pengusaha tanpa sedikitpun memandang benar dan salah berdasarkan hukum melainkan hanya nafsu semata. Untung dan rugi jadi tolok ukur utama dalam membuat kebijakan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan pergantian pemimpin tidak membawa kebangkitan pada bangsa ini melainkan hanya ada satu cara untuk membangkitkan bangsa ini dari lemahnya sistem ekonomi, rusaknya budi pekerti, dan kesenjangan hubungan sosial masyarakat yaitu sistem yang berasal dari sang pencipta bukan dari manusia yang sejatinya serba terbatas dan penuh kekurangan.
Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berlandaskan hukum Islam. Daulah khilafah adalah negara Islam yang menjalankan hukum syariat sebagai landasan negara. Aturan perundangan hanya bersumber dari Alquran dan Hadist. Maka, semua kebijakan yang diterapkan pastinya sesuai dengan fitrahnya manusia karena hanya Sang Pencipta yang tahu tentang segala sesuatunya yang berkaitan atas ciptaan-Nya.
Patut kita perhatikan, sistem Islam bukan hanya untuk umat muslim saja melainkan untuk semua manusia. Hal ini sesuai dengan Al-Qur'an :
“Tidaklah saya (Allah) mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmatan lil ‘âlamîn (rahmat bagi seluruh alam). (QS.Al-Anbiya:107)
Khalifah sebagai kepala negara senantiasa akan melayani rakyat sebagai kewajibannya kepada Allah. Rasa takut akan dosa dan adzab neraka merupakan konsekuensi keimanan yang ada pada tiap diri masyarakatnya.
Sejarah mencatat pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid, ketika jabatan kepala negara tidak membuatnya terhalang untuk turun ke jalan-jalan pada malam hari, tujuannya untuk melihat keadaan rakyat yang sebenarnya. Ia ingin melihat apa yang terjadi dan menimpa kaum lemah dengan mata kepalanya sendiri untuk kemudian memberikan hak-hak masyarakat.
Pada masa itu, Baghdad menjadi mercusuar, ia dijuluki kota impian 1.001 malam yang tidak ada tandingannya di dunia pada abad pertengahan. Bahkan pada masa pemerintahan Harun Ar-Rasyid sangat sulit mencari orang yang akan diberikan zakat, infak dan sedekah, karena tingkat kemakmuran penduduknya merata.
Allahua'lam.
_Editor : Vindy Maramis_