Jika Syariat Opsional, Hijab Hanya Seremonial

Goresan Pena Dakwah
0



Ilustrasi jilbab (pinterest)

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban


Beritakan.my.id, Opini--8 Maret 2025 lalu adalah Hari Hijab Nasional, Perempuan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (Perempuan ICMI) memperingatinya dengan mengadakan Seminar Nasional "Problematika Hijab dari Masa ke Masa” di Gedung ICMI Center, Jakarta. Mereka menyoroti masih banyaknya stigma dan pandangan negatif terhadap Muslimah berhijab khususnya di Indonesia pada dunia kerja dan profesi pelayanan publik (republika.co.id, 9-3-2025).


"Hingga saat ini, kasus-kasus diskriminatif pada Muslimah berhijab masih selalu muncul terutama pada sektor-sektor medis seperti rumah sakit dan lainnya. Padahal, isu perlindungan Muslimah berhijab di sektor pekerjaan sudah lama diangkat,"demikian kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Perempuan ICMI, Dr (Can) Welya Safitri M.Si 

Bac juga: 

Saatnya Fungsikan Prioritas Pendidikan, Bukan Efisiensi


Welya menegaskan, Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim bahkan sudah mencanangkan Hari Hijab Nasional tahun lalu, seharusnya lebih mampu memproteksi hak Muslimah berjilbab untuk mendapatkan kesetaraan haknya di dunia kerja. Disinilah pentingnya peran negara untuk mewujudkan kepedulian, perlindungan, dan penghormatan terhadap pelaksanaan syariat menutup aurat bagi kalangan muslimah. 


Mengharap Negara Peduli Dalam Sistem Kapitalisme, Ilusi


Semakin banyaknya kesadaran perempuan muslimah untuk menutup auratnya sesuai perintah syariat sangatlah melegakan, kita patut memberi apresiasi pada perempuan ICMI atas kepeduliannya hingga mengangkat tema tema yang sangat menarik. Hijab bagi perempuan Indonesia, meski mayoritas menganut agama Islam masihlah menemui kendala yang tak sedikit. Apalagi dunia, pelecehan terhadap perempuan muslim berhijab sudah diluar batas. Tanpa solusi yang mendasar, perkara peringatan Hari Hijab Nasional maupun internasional hanya akan berakhir menjadi seremonial belaka.


Barat sangat egois, tidak menerima fakta bahwa hijab adalah bagian dari ajaran agama Islam, jadi tidak ada yang salah jika para perempuan muslimah mengenakannya di ranah sosial. Namun, inilah era kapitalisme yang memang berasaskan sekular, memisahkan agama dari kehidupan. Alih-alih menjunjung tinggi kebebasan berprilaku malah mereka mengembuskan opini sesat dengan memonsterisasi ajaran Islam seolah menjadi biang kerok kerusakan sosial. 


Indonesia sebagai negara tidak beridiologis, menerima begitu saja jualan udang barat yang terus menerus mengopinikan buruknya Islam. Para pejabat agen kafir berusaha mati-matian mengubah Islam yang sudah sempurna dengan membentuk Islam moderat, Islam Nusantara, dan istilah-istilah lain yang makin memperburuk Islam. Mereka tak peduli lagi bahwa tindakannya justru mencoreng muka sendiri dan menjadikan saudara seakidah seolah musuh. 


Tentu semua itu demi kesenangan perut mereka, karena merusak Islam adalah proyek utama barat, mereka kini hanya butuh menggelontorkan dana milyaran dollar tanpa perlu mengotori tangan mereka lagi. 


Menjadikan hijab tak lagi musuh bahkan sesuatu yang asing di dalam kehidupan sehari-hari memang butuh peran negara. Namun bukan negara yang menerapkan kapitalisme. Apalagi dengan sistem politik demokrasi, yang justru melahirkan pemimpin culas, hanya setiap kepada asing dan samasekali tak peduli nasib rakyat. 

Baca juga: 

Korupsi Semakin Subur Dalam Sistem Sekuler


Satu-satunya harapan bisa terpenuhi adalah dengan penerapan syariat Islam kafah. Bukan dalam bingkai Demokrasi melainkan Daulah Khilafah. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw , " Wanita itu aurat. Ketika dia keluar (dari rumahnya) maka setan pun mengagungkannya" (HR. At-Tirmidzi). Artinya, bagi kaum hawa, seluruh tubuhnya adalah aurat. Maka butuh seperangkat aturan guna menjaganya, agar terlindung dan terhormat. 


Islam menggariskan bahwa kehormatan wanita harus dijaga dan dilindungi, baik oleh pemilik kehormatan itu sendiri, keluarga, masyarakat, maupun negara. Islam kemudian mewajibkan kaum perempuan menutup auratnya dari ujung rambut hingga kakinya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Menutup dengan kain yang memang layak menjadi penutup, yang bisa menutupi kulitnya dari pandangan lawan jenis.


Rasulullah pernah memalingkan wajahnya ketika Asma’ binti Abu Bakar masuk ke rumah Nabi saw. dengan pakaian tipis, lalu menasihati Asma’, “Wahai Asma’, jika wanita itu sudah haid (dewasa), maka tidak boleh nampak darinya, kecuali ini dan ini (sambil menunjuk ke wajah dan telapak tangan Nabi).” (HR Abu Dawud). Inilah af'al Rasulullah sebagai kepala negara yang wajib menjaga kehormatan wanita. 


Menutup aurat bukanlah sekadar fashion dan bukan standar kebaikan bagi pekerja perempuan, sehingga hanya butuh aturan boleh berhijab di tempat kerja saja. Sebab hal itu adalah dua hal berbeda. Bekerja adalah amanah, sehingga diwajibkan jujur dan bersungguh-sungguh. Sedangkan berhijab atau menutup aurat adalah kewajiban bagi setiap wanita muslimah baik dia pekerja atau bukan. Selama dia beraktifitas di ranah sosial maka selama itu pula ia wajib menutup auratnya secara sempurna. 

Baca juga: 

PHK Massal, Sejahtera Dengan Kapitalis Terbukti Gagal


Islam tak akan menjadikan menutup aurat sebagai aktifitas opsional, namun pemimpin akan memberi sanksi tegas kepada setiap perempuan muslimah yang ketika keluar rumah tidak menutup aurat. Dahulu, ketika Islam berjaya, para istri petinggai negara kafir ketika berkunjung ke negara Daulah akan dengan senang hati mengikuti aturan negara untuk menutup aurat. 


Yang harus kita pahami, syariat ditegakkan bukan untuk menyusahkan manusia, namun justru untuk memudahkan, Allah SWT berfirman yang artinya, "Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui".(TQS: Al-Jatsiyah: 18). Wallahualam bissawab.  [ry].

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)