Yang dibutuhkan untuk membantu kemerdekaan Palestina saat ini adalah persatuan umat Islam. Bukan sekadar retorika. Jika umat Islam bersatu dalam persatuan yang hakiki, tentu kekuatannya akan sangat besar dan tak tertandingi. Namun, persatuan itu tak bisa terjadi selama umat Islam masih tercerai berai dan tersandera oleh ikatan nasionalisme.
Oleh Dini Azra
Pegiat Literasi Islam Kafah
Beritakan.my.id - OPINI - Presiden Prabowo Subianto menjadi sorotan saat menyampaikan pidatonya dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke -11 Developing Eight Countries (D8), di Kairo, Mesir, Kamis (19/12/2024). Dalam pidato tersebut secara terbuka presiden Prabowo menyerukan pentingnya persatuan negara-negara Islam. Dia mengajak negara-negara anggota D-8 bersatu dan berkolaborasi sehingga menjadi kelompok yang kuat dalam aspek ekonomi dan tatanan hukum secara global. Dengan kekuatan itu negara-negara Islam bisa mendukung penuh kemerdekaan Palestina.
Pidato tersebut mendapatkan pujian sekaligus juga kritikan dari pengamat politik. Menurut Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusak Farchan kepada RMOL, Sabtu, (21/12/2024) Prabowo menyinggung kondisi penegakan HAM di dunia tidak berlaku bagi negara-negara muslim. Oleh karena itu Prabowo mengimbau negeri-negeri muslim bersatu untuk memusnahkan sikap tidak adil negara adidaya yang justru melanggar HAM warga Palestina. Padahal HAM adalah hak universal berlaku bagi semua negara.
Sementara itu Ketua Yayasan Universitas Jayabaya Moestar Putra Jaya Moeslim memuji pidato Prabowo yang berhasil menyentuh hati banyak orang, termasuk dirinya. Menurutnya pidato tersebut mengandung pesan mendalam bahwa negara-negara muslim harus bersatu dan membangun kekuatan untuk membantu Palestina. Selain itu Prabowo juga menyoroti bahwa selama ini kelemahan terbesar yang menjadi hambatan adalah perpecahan di antara negara-negara muslim itu sendiri. Moestar menilai jika Prabowo memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika geopolitik dan tantangan dunia Islam saat ini. Dunia Islam butuh pemimpin seperti presiden Prabowo Subianto. (Merdeka.com, (21/12/2024)
Namun, pada saat pidato Prabowo berlangsung, beberapa delegasi memilih keluar forum. Bahkan Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan juga melakukan Walk Out (WO). Menurut pengamat Timur Tengah Smith Alhadar, pidato Prabowo yang menyeru persatuan negara Islam memang bagus hanya saja terkesan menggurui dan mengabaikan apa yang sudah dilakukan negara-negara Islam seperti Turki, Iran, dan Mesir dalam membantu Palestina. Dimana negara-negara tersebut sudah cukup keras mengecam Israel.
Bukan hanya kecaman, Turki juga membatalkan kerjasama dengan Israel dan bergabung dengan Afrika Selatan melaporkan Israel ke Mahkamah Internasional (IJC) atas genosida terhadap Palestina. Sedangkan Iran sudah dua kali melancarkan serangan besar ke Israel. Meskipun Indonesia sendiri sudah cukup vokal dalam membela Palestina di forum-forum internasional, bukan berarti kontribusi negara-negara Islam yang lain boleh dianggap kecil. Kesimpulannya, secara substansi pidato Prabowo tidak salah, tapi artikulasinya tidak diplomatis dan salah tempat. (MediaIndonesia, 22/12/2024)
Memang benar, apa yang dibutuhkan untuk membantu kemerdekaan Palestina saat ini adalah persatuan umat Islam. Jika umat Islam bersatu dalam persatuan yang hakiki, tentu kekuatannya akan sangat besar dan tak tertandingi. Namun, persatuan itu tak bisa terjadi selama umat Islam masih tercerai berai dan tersandera oleh ikatan nasionalisme kebangsaan mereka. Sebab, masing-masing negara memiliki agenda dan kepentingan yang harus dilindungi dan diutamakan. Ini adalah kelemahan yang nyata dari umat Islam yang dipahami betul oleh musuh-musuh Islam seperti Israel dan sekutunya Amerika Serikat. Mereka merasa memegang kendali atas negara-negara muslim yang mana masih bergantung dalam bidang ekonomi, politik dan lainnya. Sehingga, semua retorika pemimpin muslim itu hanya gertakan saja.
Selama nasionalisme masih menjadi pengikat bagi umat Islam, persatuan yang dihasilkan hanya persatuan semu belaka. Terlihat kompak tapi sebenarnya memiliki tujuan masing-masing. Hal yang bisa dilakukan umat untuk membela Palestina saat ini hanyalah lewat orasi-orasi berisi kecaman, boikot produk pendukung Zionis Israel, memberikan bantuan kemanusiaan, selebihnya berdoa dan menangisi penderitaan mereka. Meskipun jiwa mereka terpanggil untuk berjihad membantu saudaranya secara langsung, tapi apa daya karena negara punya prosedur dan aturan yang harus dipatuhi.
Sementara itu yang bisa dilakukan para pemimpin negara muslim hanya beradu retorika di forum-forum dunia. Mengecam penjajah, menyeru PBB untuk menghentikan kebiadaban Israel, padahal PBB sendiri masih mengakui eksistensi Israel sebagai sebuah negara, bukan Penjajah. Jadi, solusi yang ditawarkan hanya bersifat sementara, yakni resolusi dan inisiatif perdamaian. Misalnya, Resolusi 181 (1947) dimana PBB merekomendasikan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara, Israel dan Palestina. Sementara Yerusalem menjadi wilayah internasional. Setelah itu, menginiasi perdamaian melalui perjanjian dan perundingan yang ujung-ujungnya malah tidak menguntungkan pihak Palestina. Semua pendapat yang disuarakan oleh negara-negara muslim saat ini hanya akan berhenti di tangan PBB sebagai wacana yang tidak akan terlaksana.
Meskipun negara-negara muslim juga memiliki organisasi sendiri seperti Organisasi Kerjasama Islam (OKI), Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam Asia Tenggara (OKI-AT), tapi organisasi tersebut lebih fokus menjalin kerja sama demi kepentingan masing-masing negara. Semangat mereka dalam membela Palestina tidak mungkin mengalahkan ego kebangsaan yang telah melekat.
Tidak bisa tidak! Solusi untuk membebaskan Palestina dari penjajah Zionis Israel hanya dengan jihad, berperang secara fisik bukan dengan cara diplomatik. Dan untuk melakukan jihad ini tidak cukup dilakukan oleh satu atau beberapa kelompok muslim, atau sebagian negara muslim. Umat Islam harus dipahamkan betapa pentingnya persatuan umat yang hakiki, yakni bersatu dalam satu naungan sistem yang berlandaskan akidah Islam. Sistem tersebut bernama Khilafah, di mana seluruh umat muslim di dunia dipimpin oleh seorang pemimpin bernama Khalifah. Karena hanya Khilafah yang mampu menghimpun umat Islam menjadi satu kesatuan ibarat tubuh yang utuh.
Tidak akan dibiarkan satu jengkal tanah kaum muslimin diambil oleh penjajah. Pastinya, Khalifah akan memerangi siapa saja yang menyakiti dan merampas hak-hak kaum muslimin, dengan mengerahkan pasukan perang dan seruan jihad bagi seluruh umat yang memiliki kemampuan. Penjajah akan diperangi hingga berhasil diusir dari wilayah kaum muslimin.
Bahkan, umat nonmuslim pun juga dijamin keamanan harta dan jiwanya dalam naungan Khilafah. Sebab peran pemimpin dalam Islam adalah mengemban amanah untuk mengurus rakyat dengan aturan agama. Menjadi perisai yang akan melindungi umat, dan siap mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a'lam bi ash-shawwab. [Rens]
Disclaimer: Beritakan adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.