Penistaan Agama Terjadi Lagi : Hipokrasi Demokrasi Soal Berekspresi

Admin BeritaNusaIndo
0

Jonathan Siahaan (Pelaku Penistaan Agama Islam)


Oleh : Vindy W. Maramis, S.S

Beberapa waktu lalu beredar rekaman video di sosial media Facebook yang menistakan agama Islam. Pelaku bernama Jonathan Siahaan (21) yang merupakan warga Patumbak, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dalam video tersebut pelaku melontarkan kata-kata kotor dan umpatan yang ditujukan untuk Islam.

Warga sekitar pun bereaksi atas perbuatan JS dan mendatangi kediamannya, namun pelaku telah melarikan diri ke Tapanuli Utara, hanya ada sang ayah yang kemudian menyampaikan permintaan maaf atas perbuatan anaknya. Polisi setempat kemudian datang untuk melakukan mediasi serta mengimbau agar masyarakat tenang dan tidak tersulut emosi.

Kini pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka dan telah dilakukan penahanan oleh Polrestabes Medan sebagai langkah cepat guna mencegah eskalasi situasi di masyarakat. (Selektifnews.com, 12/1/2025)

Kasus penistaan agama ini bukan kali pertama terjadi. Kasus serupa terus saja terjadi berulang dan semakin menjadi-jadi. Apakah kebebasan yang dijamin oleh demokrasi menjadi validasi bagi manusia untuk bebas berekspresi sekalipun pada hal-hal yang melanggar norma?

Hipokrasi Demokrasi Soal Berekspresi

Dalam demokrasi ada empat pilar kebebasan yang dijunjung tinggi, salah satunya adalah kebebasan berpendapat/berekspresi. Kebebasan ini mendapat jaminan dalam hukum demokrasi. Faktanya, hal inilah yang memicu banyaknya penistaan agama terjadi di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada batasan jelas dalam ketentuan berekspresi atau berpendapat dalam demokrasi. Pun tidak ada pula hukum yang memberi efek jera terhadap para pelaku penistaan agama. Sejauh ini para pelaku penistaan agama hanya dihukumi kurungan penjara paling lama 6 tahun.

Mirisnya, acap kali yang menjadi sasaran penistaan adalah agama yang mulia di sisi Allah SWT, yaitu diinul Islam. Agama yang merupakan kalamullah, berisi kalimat-kalimat suci dan indah dari Sang Pencipta bagi seluruh makhluk, di langit dan di bumi.

Penghinaan terhadap agama Islam amatlah menyakitkan, namun demikian umat Islam justru diminta bersabar dan diam saat agama ini dinistakan dan dihina. Inilah hipokritnya demokrasi dalam menilai kebebasan berekspresi. Seolah tak ada ruang bagi Islam dan umatnya untuk menyampaikan ekspresi dan pendapat.

Demokrasi Lahir dari Ideologi Sekulerisme

Hipokrasi demokrasi telah menutup pintu bagi umat Islam untuk membela dan melawan ketika agama Islam dinista dan dihina. Hal ini karena memang demokrasi sendiri lahir dari ideologi sekulerisme yaitu memisahkan kehidupan manusia dari aturan agama. Oleh sebab itu segala urusan dunia tidak boleh dikaitkan dengan agama, atau agama tidak boleh dibawa dalam urusan dunia.

Pandangan Islam Soal Kebebasan

Islam tidak mengenal istilah kebebasan (hurriyah). Dalam Islam segala sesuatu harus terikat pada hukum syara’. Tidak ada tingkah laku manusia yang bebas tanpa aturan, karena Allah telah menurunkan Islam sebagai sebuah peraturan hidup yang sempurna dan paripurna. Islam hadir sebagai pengatur kehidupan manusia yang komprehensif.

Memang benar, tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, yang artinya manusia dibebaskan untuk menjalankan agama yang diembannya, namun dalam perspektif hukum Islam, penistaan agama merupakan pelanggaran hukum syara’ yang berat. Pelaku penistaan dan penghinaan terhadap agama harus ditindak tegas dengan hukuman yang memberi efek jera di tengah-tengah manusia – bila penistaan agama itu sampai kategori riddah mughalladhah (kelas berat) akan dihukum mati - agar tidak ada manusia yang berani melakukan penistaan terhadap agama apapun. Yang perlu digarisbawahi disini ialah bahwa Islam melarang seluruh manusia melakukan penghinaan atau penistaan terhadap agama samawi. Artinya baik dia muslim maupun kafir tidak boleh melakukan penistaan agama sama sekali.

Ini membuktikan bahwa Islam merupakan agama yang adil juga mampu mengatur masyarakat yang heterogen dengan keseimbangan. Hal ini terbukti secara historis ketika kepemimpinan Islam pernah menjadi pusat peradaban dunia, yakni dari masa Rasulullah hingga Turki Utsmaniy.

Dalam buku yang berjudul The Preaching of Islam, T.W. Arnold mengatakan, “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam, pada tahun 1453 Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekret yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tidak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya.”

Tidak ada ruang bagi para penista agama dalam Islam. Berbeda dengan demokrasi yang justru menjadi wadah bagi para pelaku penistaan agama dengan dalih kebebasan berekspresi.

Allahua’lam.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)