Ilustrasi pajak, Pinterest
Oleh : Silvy Anggra, M.M
Beritakan.my.id, Opini, Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang berlaku 1 Januari 2025 telah memicu berbagai reaksi dari masyarakat. Kebijakan ini dinilai memberatkan rakyat kecil dan tidak memberikan solusi atas masalah kesejahteraan.
PPN adalah salah satu sumber utama penerimaan negara. Pemerintah mengklaim bahwa kenaikan ini bertujuan untuk memperkuat keuangan negara dan mendukung pembangunan (Kumparan, 29-11- 2024). Namun, kebijakan ini diambil di tengah situasi ekonomi yang masih rentan pasca-pandemi, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif pada daya beli masyarakat (ITS News, 28-12-2024).
Respons Masyarakat
Beragam respon masyarakat, seperti terjadi aksi Demonstrasi yang dilakukan oleh Mahasiswa di berbagai daerah menggelar aksi protes menolak kenaikan PPN. Mereka menilai kebijakan ini menambah beban hidup masyarakat (Kontan, 30-12-2024).
Selain aksi demo, bermunculan petisi online yang menolak kenaikan PPN telah memperoleh lebih dari 197 ribu tanda tangan, menunjukkan dukungan besar dari masyarakat (CNN Indonesia, 28-12- 2024). Petisi online ini merupakan respons masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap memberatkan rakyat kecil, ada kekhawatiran bahwa kenaikan PPN akan meningkatkan harga barang dan jasa, mengurangi daya beli, serta memperparah kondisi ekonomi pasca-pandemi.
Baca juga:
Penerapan Kebijakan Pajak, Membuat Rakyat Menderita
Kebijakan tersebut dinilai tidak adil karena lebih membebani golongan berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya atau korporasi besar. Melalui petisi ini, masyarakat meminta pemerintah meninjau ulang kebijakan tersebut, mencari alternatif pendapatan negara yang lebih progresif, dan memberikan solusi yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Petisi ini juga menjadi seruan solidaritas bagi masyarakat untuk bersama-sama menyuarakan aspirasi dan menolak kebijakan yang dianggap tidak tepat waktu.
Tidak berhenti disitu. Beberapa pengusaha, akademisi, dan buruh bersatu dalam menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Mereka mengkhawatirkan dampaknya terhadap daya beli dan stabilitas ekonomi.
Dampak Kenaikan PPN
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen diprediksi akan membawa dampak signifikan pada berbagai aspek perekonomian. Pertama, kenaikan ini diperkirakan akan meningkatkan harga barang dan jasa, yang secara langsung menekan daya beli masyarakat. Dampaknya akan paling dirasakan oleh golongan berpenghasilan rendah yang sudah menghadapi tantangan ekonomi sehari-hari.
Baca juga:
Kebijakan Pajak, Kebijakan Zalim Sistem Kapitalisme
Kedua, konsumsi rumah tangga, sebagai pendorong utama ekonomi Indonesia, dapat mengalami perlambatan. Hal ini berpotensi mengganggu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, seperti yang diungkapkan oleh para ekonom. Ketiga, meskipun pemerintah berharap kenaikan PPN akan meningkatkan penerimaan negara, penurunan konsumsi masyarakat akibat beban pajak yang lebih tinggi dapat mengurangi efektivitas kebijakan ini dalam mendukung pembangunan.
Oleh karena itu, kebijakan ini menimbulkan dilema antara kebutuhan meningkatkan pendapatan negara dan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat.
Analisis dalam Konteks Kapitalisme
Sistem kapitalisme sering kali mengandalkan pajak sebagai instrumen utama untuk mendanai negara. Namun, dalam banyak kasus, pajak justru menjadi beban bagi rakyat kecil. Sejarah pajak di Indonesia menunjukkan bahwa pungutan sering kali digunakan untuk kepentingan elite dan bukan untuk kesejahteraan rakyat secara luas.
Kenaikan PPN menjadi contoh bagaimana kebijakan fiskal dalam kapitalisme cenderung lebih mengutamakan stabilitas keuangan negara daripada kesejahteraan masyarakat, sehingga wajar jika menimbulkan reaksi negatif dari berbagai kalangan masyarakat. Kebijakan ini dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil dan berpotensi menghambat pemulihan ekonomi.
Dalam konteks kapitalisme, kebijakan ini mencerminkan kegagalan sistem tersebut dalam menciptakan kesejahteraan yang merata. Sebagai solusi, diperlukan alternatif kebijakan yang lebih adil dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Sumber Pemasukan di Dalam Islam
Ketika sumber utama pemasukkan di dalam sistem kapitalisme yaitu pajak menjadi sebuah kezaliman tersendiri maka kita harus melihat dan mencari sumber instrumen pada sistem yang lain. Kita meyakini Islam sebagai sebuah peraturan hidup yang sempurna sudah menjadi sebuah pilihan tepat untuk dijadikan alternative lain atas permasalahan sumber pemasukan sebuah negara.
Ketika kita berbicara tentang sumber pemasukan sebuah negara, pajak bukanlah satu satunya solusi. Pengelolaan harta yang benar menurut Islam bisa menjadi solusi atas sumber pemasukan negara. Dalam Kitab Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2, bab Mas’uliyah 'Ammah dan Al-Amwal karangan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Islam menekankan pentingnya tanggung jawab dalam mengelola amanah, khususnya harta, baik oleh individu maupun negara. Tanggung jawab ini merupakan wujud kepatuhan terhadap aturan Allah yang meliputi hubungan dengan-Nya, diri sendiri, masyarakat, dan negara.
Harta sebagai Amanah dari Allah
Harta dalam Islam dipandang sebagai titipan dari Allah yang harus dikelola sesuai dengan syariat-Nya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah, “ Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan infakkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya...” (TQS. Al-Hadid: 7).
Ayat ini menunjukkan bahwa manusia hanyalah pengelola harta, bukan pemilik mutlak. Oleh karena itu, harta harus digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kezaliman atau penyalahgunaan.
Jenis Kepemilikan dalam Islam
Islam membagi harta menjadi tiga jenis kepemilikan: Kepemilikan Individu: Harta yang diperoleh melalui cara halal, seperti perdagangan dan warisan, menjadi hak individu. Rasulullah Saw bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta yang berada di tangan orang saleh.”(HR. Ahmad).
Baca juga :
Hanya Naikkan HPP, Rakyat Sejahtera?
Kepemilikan Umum: Sumber daya alam yang diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Rasulullah Saw.bersabda,“Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api.”(HR. Abu Dawud). Kepemilikan Negara: Harta yang dikelola oleh negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara bertanggung jawab memastikan distribusi yang adil, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw., “Imam (pemimpin) adalah pengurus (ra’in), dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Tanggung Jawab Negara
Negara dalam Islam wajib mengelola harta sesuai syariat untuk menciptakan keadilan ekonomi. Firman Allah yang artinya,“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.”(TQS. Al-Hasyr: 7). Ayat ini menunjukkan bahwa Islam melarang monopoli harta dan menuntut distribusi kekayaan yang merata, sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan.
Penyalahgunaan amanah, seperti korupsi atau monopoli, dilarang keras dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai untuk mengurusi sesuatu, lalu ia menyembunyikan satu jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (khianat), dan ia akan datang membawanya pada hari kiamat.” (HR. Muslim).
Islam memandang harta sebagai instrumen untuk mencapai kemaslahatan bersama. Dengan landasan dari Al-Qur'an dan Hadis, Islam menetapkan prinsip keadilan dalam pengelolaan harta, baik oleh individu maupun negara. Sinergi antara tanggung jawab pribadi dan negara membangun masyarakat yang sejahtera, adil, dan bebas dari eksploitasi. [ ry ].