Oleh: Salimah S.Pd
Beritakan.my.id, Opini, Dilansir dari Tirto.id, mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Perubahan tarif ini sesuai dengan keputusan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Pemerintah mengklaim kebijakan ini tidak akan berpengaruh pada rakyat menengah ke bawah. Sebab, sebagaimana dikutip dari kontan.co.id penyesuaian PPN akan dikenakan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah dan dikonsumsi masyarakat mampu. Diantaranya, kelompok makanan yang berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP dan pendidikan yang berstandar international yang berbayar mahal.
Meski demikian kenaikan tarif PPN 12 persen ini akan tetap berdampak pada kehidupan masyarakat. Sebab, sebagaimana diberitakan antara.news.com menurut center of Economics laws studies (celios) kenaikan PPN ini memicu inflasi yang tinggi pada tahun ini.
Baca juga :
Kepedulian Gen Z Membela Rakyat Menolakan Kenaikan PPN
Berbagai pihak termasuk Faisal Basri selaku Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengakui bahwa kenaikan PPN 12 persen ini hanya menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara (CnbcIndonesia.com, 20-08-2024). Begitu pula yang diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD, bahwa kebijakan ini membuat rakyat semakin menjerit (Tempo.co, 20-12-2024).
Watak Sistem Kapitalisme
Sistem kapitalisme memang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pajak adalah suatu keniscayaan. Demikian pula kenaikan besaran pajak dan beragam jenis pungutan pajak. Padahal ketika pajak dijadikan sumber pendapatan negara, maka hakikatnya rakyat membiayai sendiri kebutuhannya terhadap berbagai layanan yang dibutuhkan. Artinya negara tidak berperan sebagai pengurus rakyat, negara abai menjamin kesejahteraan rakyatnya. Lalu apa fungsi negara?
Negara dalam sistem kapitalisme tidak lebih dari sekedar fasilitator dan regulator, bukan pengurus rakyat. Mirisnya regulasi yang dikeluarkan penguasa justru melayani kepentingan para pemilik modal.
Sebagaimana dalam persoalan pajak, meski ada kenaikan pajak pada barang mewah, negara masih terus memberikan amnesti (keringanan/pengampunan) pajak pada pengusaha. Alasannya agar investasi pengusaha bermodal besar tetap terjaga bahkan meningkat. Asumsinya, investasi akan membuka lapangan kerja yang bermanfaat untuk rakyat, padahal faktanya tidak demikian.
Artinya kebijakan pajak dalam sistem kapitalisme, jelas mengabaikan rakyat biasa. Rakyat hanya dipandang sebagai sasaran berbagai pungutan negara yang bersifat wajib sebagai konsekuensi posisinya sebagai warga negara.
Baca juga:
Bansos dan Subsidi , Sebuah Polesan Menutupi Kezaliman
Pungutan pajak jelas menyengsarakan, karena pungutan itu tidak memandang kondisi rakyat.
Butuh kepemimpinan Islam
Berbeda dengan kepemimpinan Islam. Dalam kitab syakhsiyah al-islamiyah juz 2, hal 161 karya ulama terkemuka abad ini Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dituliskan bahwa Islam telah memerintahkan agar penguasa memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar hanya memerintah dengan Islam saja tanpa yang lain.
Konteks agar "tidak menyentuh harta milik umum", memiliki makna bahwa negara wajib mengelola harta milik umum yaitu sumber daya alam (SDA) dan tidak boleh menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta, apa pun alasannya termasuk alasan investasi.
Hasil pengelolaan harta milik umum ini wajib dikembalikan oleh negara kepada rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan dan untuk jihad fisabilillah. Seperti membangun fasilitas umum dan berbagai pelayanan yang akan memudahkan hidup rakyat.
Selain itu "tidak menyentuh harta milik umum" juga dimaknai pemasukan dan pengeluaran ditetapkan Syara' tidak berbasis pajak dan hutang. Ketentuan ini tertuang dalam kitab Al-Amwal fii Daulah Al-Khilafah karya Syaikh Abdul Qadim Zallum.
Baca juga:
Hanya Naikkan HPP, Rakyat Sejahtera?
Artinya dalam penerapan sistem ekonomi Islam oleh negara khilafah pajak tidak menjadi sumber pemasukan utama negara. Tidak ada beban wajib pajak bagi kaum muslimin.
Sumber Pemasukan Islam
Islam telah menetapkan bahwa sumber utama pemasukan negara ada 3 jenis. Yakni dari harta milik negara, harta milik umum dan harta zakat. Sumber pendapatan yang banyak dan beragam ini juga telah ditetapkan pos pengeluarannya oleh syariat dan semuanya bermuara pada kesejahteraan rakyat dan dakwah Islam.
Sistem ekonomi Islam menempatkan dharibah (pajak) sebagai alternatif terakhir sumber pendapatan negara. Itupun hanya dikenakan dalam kondisi tertentu saja. Yaitu ketika Baitulmal (kas negara) dalam keadaan kosong. Pungutan tersebut hanya dikenakan pada individu tertentu sesuai dengan dana yang dibutuhkan.
Khilafah akan menerapkan aturan syariat tentang pajak dan seluruh aturan Islam dengan dorongan takwa. Kebijakan Khalifah juga jauh dari kezaliman, apalagi manipulasi untuk memenuhi kepentingan segelintir orang. Sebab sumber lahirnya kebijakan hanya syariat Islam bukan suara terbanyak. Ditambah lagi ada pengawasan dari majelis umat, partai politik atau jama'ah dakwah, atau individu yang berdasarkan syariat Islam.
Sungguh dengan sistem pengaturan politik dan ekonomi Islam, Khilafah akan mampu menjamin kesejahteraan rakyat individu per individu. Wallahu a'lam. [ry].
MasyaAllah Tabarakallah
BalasHapus