Hanya Naikkan HPP, Rakyat Sejahtera?

Goresan Pena Dakwah
0

Ilustrasi petani bahagia, Pinterest

Oleh: Rut Sri Wahyuningsih

Institut Literasi dan Peradaban 


Beritakan.my.id, Opini, Agar gairah produksi sedulur petani terus terpacu dan cadangan pangan pemerintah melalui Bulog semakin kuat, pemerintah memutuskan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk komoditas gabah kering panen (GKP) dan jagung. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi sesuai rapat bersama Presiden Prabowo Subianto. 


HPP GKP diputuskan naik dari Rp 6.000 per kg menjadi Rp 6.500 per kg. Sedangkan HPP jagung pakan naik menjadi Rp 5.500 per kg, dari sebelumnya Rp 5.000 per kg (republika.co.id, 2-1-2025).


Arief juga memastikan, bahwa semua hasil panen petani akan diserap oleh Perum Bulog. Pertanyaannya, benarkah langkah ini akan dapat menyejahterakan petani Indonesia sekaligus meningkatkan produktivitas pertanian?


Baca juga: 

Palestina Berdarah Sampai kapan


Pembahasan penyesuaian HPP GKP telah dilakukan Bapanas bersama berbagai pihak antara lain Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Riset dan lnovasi Nasional (BRIN). Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan pun menyampaikan hal yang sama, Zulhas meyakinkan, berapa pun produksi gabah dan jagung petani akan ditampung sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah (republika.co.id, 31-12-2024).


Kebijakan Asal Comot


Begitu mudahnya menetapkan sebuah kebijakan, semudah membalik telapak tangan. Padahal tidak samasekali! Pertanian yang hari ini hampir ditinggalkan oleh petani sendiri apalagi oleh generasi mudanya hingga fakultas pertanian obral kuota, penerimaan mahasiswa barunya tetap minim, semua berhenti pada kata yang sama, pertanian madesur alias masa depan suram. 


Menaikkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) saja, tak akan mewujudkan kesejahteraan rakyat secara signifikan. Bahkan terkesan meledek profesi petani itu sendiri, semua tahu, setiap kali panen raya, entah petani buah, sayuran, padi atau palawija yang lain, harga di pasar langsung anjlok karena pada saat yang sama pemerintah juga impor beras dan bahan kebutuhan pokok lainnya. 


Ketika petani menjerit harga pupuk mahal, tanah leluhur dialih fungsikan menjadi PSN (Proyek Strategis Nasional) hingga banyak yang kehilangan mata pencaharian, ganti rugi pun tak sepadan, selain tak sesuai dengan keahlian mereka juga hanya cukup untuk bertahan hidup beberapa bulan saja. Pemerintah bergeming, bahkan menanyakan secara "bijak" apa yang sudah diberikan rakyat untuk negara. 


Baca juga: 

Retorika Pemimpin Dunia, Mustahil Membebaskan Palestina


Tahun 2023, Mentan Amran Sulaiman membuat Brigade Pangan untuk mempercepat swasembada pangan, yang ditargetkan Presiden Prabowo tercapai dalam tiga tahun atau 2027 (tempo co.id, 25-11-2024). Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian melalui penerapan teknologi modern dan melibatkan generasi muda.


Para pemuda ini dikelompokkan dalam satu tim dengan 15 anggota, yang akan menggarap 200 hektare lahan, berupa lawan rawa yang optimal (OPLAH) serta pencetakan sawah rakyat (CSR). Amran mempertimbangkan, dalam satu tahun pertama dengan biaya operasional Rp3,94 miliar, pendapatan yang dihasilkan mencapai Rp8,4 miliar, memberikan keuntungan bersih sebesar Rp4,46 miliar. Pendapatan para petani diproyeksikan mencapai Rp10 juta per bulan.


Banyak pihak mempertanyakan, lahan yang digunakan dimana serta dana dari mana, hari ini ditambah dengan kenaikan tarif PPN 12 persen bukan tidak mungkin menghambat proyek ini. Sebab daya beli masyarakat menurun, bisa-bisa dana pelatihan dan modal proyek terpakai untuk biaya hidup.


Belum lagi dengan rendahnya inovasi teknologi, sehingga masih banyak pertanian yang menggunakan teknologi tradisional dan manual. Pendidikan untuk generasi muda terkait pertanian, baik ilmu maupun teknologinya tak diminati hingga menjadikan alasan pemerintah untuk mengadopsinya dari luar negeri, Cina misalnya. 


Dan masih banyak lagi paradoks di dunia pertanian. Padahal, pertanian yang maju adalah pilar utama ketahanan pangan nasional. Alih-alih memuliakan petani, yang ada pemerintah malah membuka kawasan hutan lindung di Sumatra ( yang gagal) dan Papua, kembali dengan alasan swasembada pangan, tapi rakyat asli terusir dan ekosistem rusak parah menyisakan bencana. 


Kapitalisme Gagal Menyejahterakan Petani


Jelas, kebijakan menaikkan HPP hanyalah kebijakan omon-omon semata, ketika masih saja kapitalisme diterapkan di negeri ini. Dengan menetapkan harga gabah di petani saja, sebenarnya pemerintah sudah merusak pasar. Fakta di lapangan jauh berbeda dengan apa yang ditetapkan, ketika peran negara sangat minim di sisi petani, maka penetapan harga sama saja dengan membunuh masa depan petani itu sendiri. 


Terlebih, sistem kapitalisme sangat memberikan kebebasan mutlak kepada pengusaha, dalam hal ini korporasi atau mereka yang bermodal. Jangan lupa, para pembantu presiden sebagain besar juga pengusaha, yang tentu akan lebih condong menjalin kerjasama dengan para pemodal itu demi kesejahteraan mereka sendiri. 


Akibatnya, sumber-sumber pendanaan strategis pemerintah terpaksa harus diserahkan kepada para pemodal itu sebagai bentuk ketundukan penguasa atas minimalisasi perannya, sebagai gantinya, pemerintah hanya kuasa membuat kebijakan dan salah satunya adalah penerapan pungutan pajak dan utang luar negeri. 


Islam Sistem Sempurna Wujudkan Kesejahteraan


Saatnya kita tak lagi fokus pada sistem yang diterapkan hari ini, yaitu kapitalisme, selain karena tak bisa terbukti menyejahterahkan, sistem ini asasnya sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan. 


Secara mayoritas penduduk negeri ini muslim, mereka beriman kepada Alquran dan Sunnah, serta meyakini pula tak hanya membacanya saja yang bernilai ibadah, melainkan juga mengamalkannya. Namun mengapa justru kaum muslim ini menggunakan hukum yang lain? Yang dibuat manusia, sesama makhluk yang lemah. 


Baca juga:

Indonesia Peserta COP 29, Dimana Ujungnya?


Allah SWT, telah mengarungi akan alam semesta beserta isinya, untuk kemaslahan manusia. Terlebih bumi yang ditempati manusia, kerusakan dan ketidakseimbangan di dalamnya jelas karena ulah manusia yang serakah dan mengabaikan hukum-hukum Allah. 


Islam mewajibkan ada negara yang bertugas menjaga segala urusan manusia dan menjamin pemenuhannya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw," “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Salah satunya masalah ketahanan pangan, dengan cara melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, memberi modal kepada petani dari Baitulmal, melakukan pelatihan, pendidikan hingga perguruan tinggi demikian juga mendorong adanya penelitian terkait pertanian. 


Membuat industri alat-alat pertanian, hingga menjaga pasar dimana hasil pertanian diperjual belikan, bukan dengan penetapan harga, hal demikian akan diserahkan pada mekanisme pasar, tapi mengadakan subsidi silang wilayah yang surplus dengan wilayah yang minus. 


Negara juga akan memberikan sanksi hukum yang tegas jika ada kecurangan di pasar dan tindakan yang melanggar syariat. Akan ada Qadi (hakim) hisbah yang akan berkeliling pasar untuk menjaga ketertiban dan pelanggaran. Intinya, negara hadir sepenuhnya agar pertanian tak sekadar wacana yang berganti menteri ganti kebijakan, namun benar-benar menyokong petani agar berdaya guna sehingga bisa menopang ketahanan pangan secara mandiri. Wallahualam bissawab. [ry]

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)