Oleh : Ummu Hanan
Beritakan.my.id, Opini, Musim penghujan telah tiba. Banyak orang yang merasa diuntungkan dengan datangnya musim ini, namun tidak jarang yang merasa dirugikan. Musim penghujan seringkali menjadi kambing hitam atas terjadinya sederetan musibah seperti banjir dan tanah longsor. Sebagaimana yang terjadi beberapa waktu lalu di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.
Banjir bandang yang menerjang daerah tersebut telah memakan 1 korban jiwa serta 3 orang terluka (cnnindonesia.com,14-01-2025). Penyebab banjir mengarah pada tingginya curah hujan yang berlangsung sejak siang hingga malam hari. Tidak jauh berbeda dengan musibah banjir bandang lainnya yang terjadi di daerah Bondowoso, Jawa Timur. Banjir ini telah menghanyutkan sedikitnya 12 rumah warga dan tingginya curah hujan disebut sebagai pencetus utama musibah tersebut (beritasatu.com,09-01-2025).
Banjir bandang hampir setiap tahun menghampiri negeri ini. Tidak hanya menimbulkan kerugian secara materi, musibah ini juga acapkali menimbulkan korban jiwa. Sungguh merupakan keprihatinan kita bersama ketika musibah ini terus berulang tanpa ada penanganan yang berarti dan selalu berakhir pada satu pencetus yang sama, yakni tingginya curah hujan.
Kita tentunya menginginkan adanya kondisi yang lebih baik ke depan terkait bagaimana mitigasi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan. Mitigasi bencana adalah suatu perkara yang mutlak ada karena keberadaannya menentukan kadar kepedulian penguasa terhadap rakyatnya. Selain itu, mitigasi juga membutuhkan peran serta berbagai pihak dengan visi yang sama, yaitu menjaga dan mengutamakan keselamatan setiap individu masyarakat.
Baca juga:
Apakah Perda Bisa Menghentikan LGBT?
Mitigasi hakikatnya adalah setiap upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi adanya risiko dari sesuatu yang tidak diinginkan. Bentuk konkret dari mitigasi bencana adalah melalui pemenuhan sarana dan prasarana yang menunjang serta peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi potensi bencana.
Mitigasi hanya mungkin terwujud secara optimal ketika didukung penuh oleh pihak yang memiliki kekuasaan mengatur masyarakat. Membahas soal mitigasi juga tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba atau tanpa perencanaan. Disinilah pentingnya koordinasi menyeluruh oleh penguasa untuk memastikan seluruh sistem pendukungnya bekerja.
Musibah banjir atau bencana alam lainnya ada yang terjadi murni karena faktor alam namun tidak sedikit yang disebabkan karena ulah tangan manusia. Untuk faktor yang pertama tentu manusia tidak dapat memprediksi kapan akurasi terjadinya, sebab itu menjadi ketetapan yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Akan halnya musibah yang terjadi akibat ulah tangan manusia sebenarnya perkara yang sudah dapat ditebak kerusakannya. Ini tidak lain karena eksploitasi lingkungan maupun sumber daya alam yang tak bertanggung jawab sehingga berkontribusi pada kerusakan alam. Contonhnya pada musibah banjir bandang. Hujan memang menjadi variable yang menambah kadar air di permukaan tanah. Akan tetapi, ketika kemampuan tanah dalam menyerap air dengan kualitas hutan lindung yang masih lestari, tentu potensi banjir bisa diantisipasi.
Baca juga:
Hanya Naikkan HPP, Rakyat Sejahtera?
Hari ini kita dapati pembangunan fisik menjadi perkara yang melahirkan persoalan baru. Ya, pembangunan ala kapitalisme telah memberi akses yang sangat besar kepada para pemilik modal untuk mengeksploitasi lahan sedemikan rupa. Oligarki yang tamak diberi kebebasan untuk mengubah lahan serapan menjadi lahan bisnis. Mereka tidak mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkan bagi lingkungan maupun masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Oligarki hanya berkutat pada seberapa besar keuntungan yang bisa mereka peroleh dari pembabatan lahan yang serampangan. Penguasa yang abai terhadap amanah untuk mengurusi rakyat juga ikut ambil bagian menjaga kepentingan korporasi. Bahkan dalam salah satu kesempatan, pejabat negeri ini menyebut bahwa deforestasi tidak membahayakan dan bisa dijadikan sebagai landasan pembukaan lahan, sungguh ironis.
Kerusakan lingkungan yang berakibat pada terancamnya keselamatan jiwa manusia tentu tidak akan terjadi jika pengaturan kehidupan masyarakat bersumber pada Zat Yang Maha Benar. Dalam pandangan Islam, penguasa adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya, sebagaimana Nabi saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalh raa’in dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Bukhari). Melalui hadis ini kita dapat menyimpulkan bagaimana syariat Islam telah mewajibkan penguasa melalui negara untuk melindungi rakyatnya dari berbagai macam kemudharatan.
Negara yang berdasarkan pada syariat Islam pastinya akan membuat perencanaan yang matang terkait pembangunan kota, Tidak akan dibenarkan segala potensi pembangunan yang bisa memunculkan bencana seperti banjir bandang atau yang semisalnya.
Baca juga:
Penerapan Kebijakan Pajak, Membuat Rakyat Menderita
Oleh karena itu, mitigasi tentu tak sekadar melakukan evaluasi. Pemangku kebijakan tak selayaknya hanya berhitung jumlah korban yang terluka atau kerugian secara materi. Tetapi, pengurusan atas kemashlahatan rakyat merupakan hal wajib ada dan menjadi prioritas negara.
Negara tidak boleh abai apalagi sampai mengorbankan rakyatnya demi keuntungan segelintir elit. Maka hanya negara yang merujuk pada penerapan Islam kafah yang akan menjadikan penguasa sebagai sosok bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. Allahu’alam. [ ry ].