Bansos dan Subsidi, Sebuah Polesan Menutupi Kezaliman

Goresan Pena Dakwah
0


Ilustrasi Bansos, Pinterest

Oleh: Ummu Faruqq


Beritakan.my.id, Opini, Di tengah kondisi ekonomi yang kian terpuruk, Pemerintah malah bersikukuh menaikkan PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Keputusan ini dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak karena dinilai mencekik masyarakat dan membuat kondisi masyarakat kian terpuruk. 


Pemerintah menegaskan bahwa tidak semua barang dikenakan kenaikan PPN sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2020. Airlangga Hartanto mengungkapkan bahwa bahan kebutuhan pokok terbebas dari kenaikan PPN, diantaranya beras, daging, ikan, telur, sayur, buah, susu, garam, gula, minyak goreng tertentu, cabai, dan bawang merah.


Sedangkan dari jenis jasa, berikut diantara yang mendapatkan fasilitas PPN sesuai dengan PP Nomor 49 Tahun 2024 yaitu jasa pendidikan, pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, jasa angkutan umum, keuangan, dan persewaan rumah susun sederhana. (CNNIndonesia, 18-12-2024).


Baca juga: 

PPN Tetap Naik, Suara Rakyat dalam Petisi Penolakan Diabaikan


Dibebaskannya bahan pokok dan berbagai pelayanan stategis lainnya dari kenaikan PPN tidak menjamin harga barang pokok dan jasa tersebut akan stabil dan tidak mengalami kenaikan. Meskipun barang kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN, tetapi kenaikan PPN akan memberikan efek domino yang pasti akan mengerek harga kebutuhan pokok. 


Barang kebutuhan pokok tentunya tidak bisa berdiri sendiri, tetapi tetap memerlukan operasional, distribusi, maupun produksi. Ketika biaya operasional, produksi, dan distribusi mengalami peningkatan karena efek kenaikan PPN, tentu saja biaya kenaikan ini akan diteruskan ke konsumen dalam bentuk harga jual beli yaang tinggi. Maka sungguh mustahil jika kenaikan PPN ini tidak berdampak pada harga kebutuhan pokok ataupun sektor jasa strategis yang digunakan masyarakat. 


Dalam upaya meredam dampak kenaikan PPN, pemerintah menyiapkan enam paket kebijakan ekonomi mulai dari insentif hingga diskon pajak, diantaranya, pertama, sektor rumah tangga mendapatkan diskon listrik sebesar 50 persen selama dua bulan, bantuan beras, PPN DTP 1 persen untuk tepung terigu, gula industri, dan Minyak Kita. 


Kedua, dari sisi pekerja akan mendapatkan kemudahan akses jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Ketiga, dari sisi UMKM, akan diberikan perpanjangan PPh final 0,5 persen dari omzet hingga 2025, sedangkan untuk UMKM dengan omzet kurang dari Rp500 juta per tahun akan dibebaskan dari PPh. 


Keempat, dari sisi Industri Padat Karya, Pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP untuk industri padat karya bagi pekerja dengan gaji maksimal Rp10 juta per bulan, pembiayaan industri padat karya, serta bantuan sebesar 50 persen untuk jaminan kecelakaan kerja pada sektor padat karya selama enam bulan. Kelima, Pemerintah bakal memberikan insentif bagi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai dan kendaraan bermotor hybrid. Keenam, untuk sektor perumahan diberikan PPN DTP pembelian rumah.


Baca juga: 

Kenaikan PPN 12 % Mencekik Rakyat Akibat Kapitalisme


Akankah enam paket kebijakan ekonomi yang dicanangkan pemerintah mampu meredam kenaikan pajak 12 persen tersebut? Nyatanya, paket stimulus tersebut hanyalah sebuah polesan untuk menutupi isu kenaikan PPN yang terus menjadi sorotan. Bantuan yang dicanangkan Pemerintah tersebut tidaklah bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara permanen, berbagai bantuan tersebut hanya dapat meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat secara temporer. Sejatinya kebijakan ini hanyalah kebijakan populis otoriter, kebijakan tambal sulam yang tidak menyelesaikan masalah.


Disisi lain, kenaikan PPN merupakan suatu keniscayaan dalam sistem hari ini, karena negara menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama dalam membiayai berbagai proyek pembangunan maupun program pemerintah. 


Dikutip dari website Direktorat Jenderal Pajak menyatakan bahwa 70 persen sumber APBN tahun 2024 bersumber dari penerimaan pajak. Mirisnya, tidak semua proyek pembangunan dan program pemerintah dinikmati oleh seluruh rakyat. Bahkan, tak sedikit yang masuk di kantong para koruptor yang makin hari rasanya semakin subur mewarnai tanah air. Maka tidak heran jika semakin banyak program yang dicanangkan pemerintah, maka semakin banyak pula dana yang dibutuhkan, dengan demikian semakin gencar pula pemalakan pajak terus digalakkan.


Maka sejatinya tidaklah ideal jika pajak dijadikan sumber utama pendapatan negara, karena hal ini akan sangat menyengsarakan urusan rakyat. Negara seharusnya mampu mendapatkan sumber pemasukan lainnya, diantaranya bisa dari pengelolaan sumber daya alam yang tak terhitung jumlahnya di Indonesia. 


Sudah menjadi rahasia umum rasanya kekayaan sumber daya alam Indonesia, namun sayangnya kekayaan tersebut tidaklah dikelola secara maksimal oleh negara, dan tidak diperuntukkan untuk kepentingan rakyat. Melainkan dikelola dan dimanfaatkan oleh para elit oligarki dan digunakan untuk memperkaya diri mereka sendiri


Pandangan Islam Tentang Pajak


Islam memandang pemimpin adalah penanggung jawab rakyatnya yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah “Imam itu adalah laksana penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR Bukhari dan Ahmad dari Abdullah bin Umar ra.). 


Salah satu kriteria pemimpin dalam Islam adalah dia yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah yang merasa dirinya akan selalu diawasi oleh Allah. Sehingga dirinya tidak akan melakukan perbuatan yang dapat mendzalimi rakyatnya.


Sebagaimana penggembala yang harus memenuhi kebutuhan gembalanya, demikian pula pemimpin dalam Islam. Pemimpin memiliki tanggung jawab untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya. Namun kebutuhan manusia tidaklah sederhana kebutuhan hewan gembala. Dalam Islam kebutuhan manusia terdiri dari sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, yang semuanya harus dapat dipenuhi oleh seorang pemimpin. 


Sebagaimana Umar bin Khattab yang rela memanggul sekarung gandum untuk diantarkan kepada rakyatnya ketika kelaparan. Sebagaimana beliau ketika ketakutan saat menemui keledai yang terperosok di jalan berlubang. 


Demikianlah hakikatnya pemimpin dalam Islam, dia selalu ketakutan dan khawatir jika tidak memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dia takut di hari penghisapan nanti akan diadili oleh rakyat yang dipimpinnya. Jika pemimpin sudah memiliki jiwa demikian maka tidaklah mungkin dia berbuat zalim kepada rakyatnya, dia akan melakukan yang terbaik untuk rakyatnya dan rakyat adalah prioritas dalam kepemimpinannya.


Baca juga: 

Judol Berkurang Dengan Riset, Kemana Akidah?


Kedudukan Pajak dalam Islam


Sumber pemasukan dalam Islam berasal dari banyak pos, diantaranya dari fai, anfal, ghanimah, kharaj, jizyah, pemasukan dari harta milik umum, zakat, pemasukan harta milik negara, dan pemasukan harta milik negara. Seluruh sumber pemasukan ini akan dimasukkan ke dalam Baitulmal dan dikelola sesuai dengan peruntukannya.


Contohnya harta kepemilikan umum, yang salah satunya bersumber dari pengelolaan sumber daya alam. Sumber daya alam wajib dikelola oleh negara dan diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat. Jadi haram hukumnya sumber daya alam dikelola oleh individu. 


Harta kepemilikan umum digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, seperti dari sektor pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya. Maka tidaklah heran jika dalam Islam pendidikan, kesehatan, dan keamanan bisa sangat terjangkau ataupun gratis, karena sistem ekonomi Islam sangatlah kokoh.


Terkait pajak, pajak bukanlah sumber pendapatan suatu negara. Pajak dalam Islam hanya diberlakukan pada kondisi-kondisi tertentu, dan hanya dikenakan kepada orang-orang tertentu. Negara dalam Islam memberlakukan pajak ketika kondisi kas negara sedang kosong sedangkan pada saat itu ada kebutuhan yang harus segera ditunaikan. 


Contohnya untuk melaksanakan jihad, membantu fakir miskin, kondisi paceklik ataupun bencana, dan berbagai hal urgent lainnya. Sedangkan orang yang dipungut pajak adalah para orang kaya dan mampu, yang telah memenuhi kebutuhan hidupnya, dan semuanya dipungut dari sisa kebutuhan hidupnya. 


Sehingga dapat disimpulkan bahwa pajak dalam Islam bukanlah suatu pemasukan utama yang dilakukan secara terus menerus, melainkan hanya pada kondisi tertentu dan pada orang tertentu saja.


Demikian sempurnanya aturan Islam dalam menjaga kelangsungan hidup manusia. Ketika seluruh aturan dalam Islam diterapkan, maka sejahteralah kehidupan manusia. Wallahu’alam bish-shawab. [ ry].


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)