Oleh Istiqomah
Dunia kuliner kembali diramaikan dengan hidangan yang berbahan dasar daging buaya. (detik.com, 22-11-2024) Beredarnya kuliner ekstrem bahkan haram memang ramai dalam sistem sekularisme. Tak hanya itu, beredarnya produk dengan nama haram namun halal juga sempat menghebohkan masyarakat.
Masyarakat tentu masih ingat adanya produk yang mengandung nama "tuyul," "tuak", "beer", dan "wine". Anehnya produk minuman yang terkenal berbahaya mendapat sertifikat halal. Menurut kumparan news pada 3 Oktober 2024, produk dengan nama menggunakan kata “wine” yang sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan ketetapan halal dari Komisi Fatwa MUI berjumlah 61 produk, dan 53 produk sertifikat halalnya diterbitkan berdasarkan penetapan halal dari Komite Fatwa produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH (Lembaga Pemeriksa Halal).
Selain minuman, juga ada makanan tersertifikasi halal, yang belum terkategori sepenuhnya memenuhi kesehatan. Hal ini terjadi pada 2 orang pelajar di Kampung Bojong Kaso, Desa Cileungsi Kidul, Kecamatan Cileungsi yang terindikasi keracunan akibat mengonsumsi jajanan viral Daya. (Bogor online.com, 28-02-2024)
Sertifikasi halal atau jaminan halal pada makanan sangat penting diajukan oleh para pengusaha makanan kepada majlis ulama Indonesia (MUI). Karena dengan adanya sertifikasi halal tersebut, mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat dalam mengkonsumsi. Jika itu tidak terjadi, produk berbahaya akan merusak daya pikir masyarakat terhadap aktivitas keseharian.
Parahnya, sistem sekarang tidak terlalu peduli hal itu. Bisa dilihat dari bukti di atas yang merupakan model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, nama produk dan zatnya tak jadi soal asal menghasilkan cuan besar. Padahal makanan dan minuman yang disertifikasi halal tadi, bisa jadi berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan. Lantaran, tidak sesuai dengan fitrah dalam Islam.
Dalam Islam, halal haram suatu produk dan zatnya merupakan persoalan prinsip dasar, tidak bisa ditolak. Sayangnya karena sistem yang menuhankan uang, maka sertifikasi pun jadi ladang bisnis. Oleh karena itu, sertifikasi halal adalah salah satu layanan yang harus diberikan oleh negara dengan biaya murah bahkan gratis. Bukan lagi negara memberikan sertifikat halal tanpa melihat zatnya atau di sana ada peluang untuk memperoleh ladang uang lebih.
Negara harus benar-benar memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap produk yang akan dikonsumsi manusia. Negara juga harus rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Bahkan, negara juga memastikan tidak adanya kecurangan dan kamuflase.
Tepatnya, itu hanya ada dengan penerapan Islam yang kaffah dalam kehidupan. Maka, tak bisa terjamin sistem kapitalisme mengeluarkan sertifikasi halal, selain hanya kedok ladang untuk melanggengkan aturan diluar Islam. Wallahu 'alam bishawab.