Ilustrasi gambar: Wikipeda |
Miris, kata 'toleransi' kerap dilontarkan, khususnya kepada umat Islam, apalagi menjelang perayaan Nataru (Natal dan Tahun Baru). Sikap umat muslim terhadap perayaan Nataru seolah menjadi tolok ukur seberapa jauh umat muslim bersikap toleran. Inilah yang terjadi ketika umat muslim tidak memiliki junnah (negara khilafah).
Oleh Sunarti Hamzz
Aktivis Muslimah
Beritanusaindo.my.id - OPINI - Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar mengingatkan bahwa menjaga toleransi merupakan bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Ia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Nataru (Natal dan Tahun Baru) ini sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan. (Jawapos.com, 15 Desember 2024)
Senada dengan Menteri Agama Republik Indonesia Nasaruddin. Sebagai upaya memperkuat toleransi dan kerukunan umat beragama, Wali Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur, Eri Cahyadi, mengajak seluruh warga Surabaya Jawa Timur untuk terus menjaga keharmonisan yang telah menjadi ciri khas Kota Pahlawan itu. Eri pun mengatakan bahwa kerja sama antara pemerintah, aparat keamanan, dan warga diharapkan mampu menciptakan suasana yang aman, damai dan sejahtera selama perayaan Nataru (Natal dan Tahun Baru) di Kota Pahlawan tersebut. (Jawapos.com, 13 Desember 2024)
Kata toleransi kerap dilontarkan, khususnya kepada umat Islam, apalagi menjelang perayaan Nataru (Natal dan Tahun Baru). Sikap umat muslim terhadap perayaan Nataru seolah menjadi tolok ukur seberapa jauh umat muslim bersikap toleran. Ya, umat Islam yang ikut berpartisipasi dalam perayaan Natal dan tahun baru akan disebut sebagai muslim yang toleran dan cinta kedamaian. Sebaliknya, jika ada umat muslim yang tidak ikut serta dan berpartisipasi dalam perayaan Natal dan tahun baru, termasuk tidak mengucapkan selamat Natal, maka dengan mudahnya umat Islam yang demikian dicap sebagai muslim yang intoleran.
Toleransi yang diopinikan justru tanpa sadar mengarah dan mengikuti ritual ibadah seperti mengucapkan natal, hadir dalam perayaan, memakai baju natal dan mengikuti berbagi rangkaian acara ibadahnya. Ini jelas bertantangan dengan akidah umat islam, sebab mengikuti ritual ibadah umat lain telah melanggar syari'at islam.
Hal yang sama juga akan terus berulang setiap saat tahun baru tiba. Banyak masyarakat dari kalangan umat muslim di dunia yang mengadakan acara-acara pada momentum natal dan pergantian tahun baru, bahkan tidak jarang mewarnainya dengan berbagai pesta yang lekat dengan aktivitas maksiat yang melanggar hukum syariat Allah Swt., seperti campur baur antar lawan jenis, makan dan minum bersama maupun pesta seks dan narkoba hingga larut sampai pagi.
Mengingat beragam aktivitas di momen Natal dan tahun baru itu, sungguh tidak tepat jika ada imbauan sebagaimana dari pernyataan dari Menteri Agama dan Walikota tersebut. Mereka mungkin bisa memberikan pernyataan bahwa imbauan menjaga suasana kondusif jelang/selama Natatal dan tahun baru itu tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin saja. Hanya saja, mayoritas penduduk negeri ini sudah jelas beragama muslim. Tentu aneh jika seruan toleransi tersebut malah di gencarkan kepada kaum muslim yang dimana sebagian penduduknya mayoritas islam di Indonesia, apalagi jelang Natal dan tahun baru yang notabene hari raya umat nonmuslim.
Jelas, bukan hanya toleransi dalam makna syariat islam yang kaum muslim pahami. Yang terjadi, toleransi yang dimaksudkan adalah agar rakyat mayoritas yakni kaum muslim diharuskan untuk menghormati minoritas (kaum nonmuslim). Ini adalah toleransi yang dianut oleh paham sekularisme yaitu paham pemisahan agama dari kehidupan yang bisa merobohkan keimanan kaum muslimin sebagai akibat minimnya pemahaman umat sehingga mereka mudah terbawa oleh arus yang bertentangan dengan paham syariat Allah Swt..
Islam juga memiliki definisi yang sudah jelas mengenai soal pelanggaran hukum syara’, yakni segala sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan hukum Allah SWT dan Rasul-Nya. Aktivitas meyakini dan mengadopsi ajaran dari luar aqidah Islam adalah pelanggaran hukum syariat Allah Swt.. Ini termasuk dalam hal penggunaan atribut Natal, mengucapkan selamat hari raya umat lain, maupun aktivitas perayaan pergantian tahun baru. Jadi sikap kaum muslimin saat momentum Natal dan tahun baru bukan soal toleran maupun intoleran.
Sungguh telah jelas bahwa solusi dari permasalahan toleransi dan pendangkalan akidah ini adalah dengan meyakini dan menerapkan aturan yang berasal dari Allah Swt. yaitu Islam kaffah oleh suatu negara. Negara Islam atau Khilafah memiliki peran penting untuk menjaga akidah umat.
Negara Khilafah memiliki Departemen Penerangan yang bertujuan untuk memberikan penerangan atau penjelasan mengenai tuntunan agama islam kepada umat nonmuslim untuk memeluk agama dan menjalankan hidupnya masing-masing, termasuk merayakan hari besar mereka. Mereka tidak akan dipaksa untuk memeluk Islam. Mereka bahkan mendapatkan perlindungan dari negara Khilafah karena mereka adalah warga yang berstatus ahlu dzimmah, yaitu orang nonmuslim yang tunduk di bawah sistem Islam (khilafah) tetapi tetap memeluk agamanya.
Wallahu ‘alam bisshawab. [Rens]
Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.