Ilustrasi: Welfare life Sumber: iStock |
Oleh : Silvy Anggra, M.M
Ilusi Kesejahteraan dan Standar Hidup Layak
Kesejahteraan sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah sistem ekonomi. Namun, dalam sistem kapitalisme, definisi kesejahteraan lebih banyak didasarkan pada data statistik kolektif, yang sering kali menyamarkan realitas ketidaksetaraan individu. Pendekatan ini memunculkan berbagai kritik, terutama terkait metode pengukuran seperti pendapatan per kapita dan standar hidup layak.
Kapitalisme menentukan kesejahteraan melalui indikator makroekonomi seperti pendapatan per kapita. Indikator ini bersifat kolektif, menggabungkan seluruh pendapatan dalam satu wilayah untuk mendapatkan rata-rata. Namun, cara ini menyembunyikan keberadaan individu miskin di tengah angka yang tampak tinggi.
Sebagai contoh, meskipun sebuah negara memiliki pendapatan per kapita yang tinggi, hal itu tidak menjamin bahwa semua warganya hidup sejahtera. Ketimpangan pendapatan dan distribusi kekayaan menjadi masalah yang tak terelakkan.
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia menetapkan standar hidup layak (SHL) sebesar Rp1,02 juta per kapita per bulan pada tahun 2024. Angka ini lebih tinggi di Jakarta, yaitu Rp1,66 juta, menurut laporan CNN Indonesia (28/11).
Meski terlihat cukup di atas kertas, angka ini menuai kritik tajam. Serikat pekerja menilai angka tersebut tidak realistis untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan transportasi.
Menurut Yusuf Rendy Manilet dari Center of Reform on Economics (CORE), biaya tempat tinggal di perkotaan saja dapat menghabiskan hingga 40% dari anggaran tersebut, sementara biaya transportasi harian bahkan melebihi batas SHL yang ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa standar ini tidak mencerminkan kebutuhan riil masyarakat.
Pendekatan Kolektif yang Menyesatkan
Dalam kapitalisme, indikator kesejahteraan seperti pendapatan per kapita sering kali digunakan untuk menunjukkan kemajuan ekonomi. Namun, indikator ini memiliki kelemahan mendasar. Standar ini tidak mempertimbangkan distribusi kekayaan secara merata, sehingga masyarakat miskin tetap "tersembunyi" di balik data statistik nasional.
Jurnal Rizki Afri Mulia berjudul "Pengaruh Tingkat Kemiskinan dan Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Kesejahteraan Masyarakat" menyoroti bahwa meskipun PDRB suatu wilayah meningkat, hal itu tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata. Ketimpangan distribusi pendapatan menjadi penyebab utama ketidakadilan ini.
Sistem kapitalisme cenderung mendefinisikan kesejahteraan berdasarkan angka-angka, tanpa memperhatikan kebutuhan individu yang berbeda-beda secara nyata. Penetapan SHL yang rendah mencerminkan paradigma kapitalisme yang tidak menjadikan pengurusan rakyat sebagai prioritas. Sebaliknya, fokus lebih diarahkan pada pertumbuhan ekonomi makro yang sering kali hanya menguntungkan para elit kapital.
Kesejahteraan yang sejati tidak bisa diukur hanya dari angka pendapatan per kapita atau standar hidup layak yang tidak realistis. Kritik terhadap kapitalisme menggarisbawahi perlunya sistem alternatif yang lebih adil dan merata. Dalam hal ini, pendekatan holistik yang memprioritaskan kebutuhan individu menjadi solusi untuk mengatasi ketimpangan dan mewujudkan kesejahteraan yang hakiki.
Analisis Kesejahteraan dalam Perspektif Islam
Islam memandang kesejahteraan sebagai tanggung jawab utama negara yang harus diwujudkan secara komprehensif dan adil. Dalam Islam, kesejahteraan diukur dari terpenuhinya kebutuhan setiap individu secara layak dan menyeluruh.
Dalam sistem Islam, negara memiliki peran sebagai raa’in (pengurus rakyat). Rasulullah SAW bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah raa’in dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya."(HR. Bukhari dan Muslim).
Sebagai raa’in, negara berkewajiban untuk mengurus dan menjamin kesejahteraan setiap individu. Kesejahteraan dalam Islam bukan hanya diukur dari pencapaian materi, tetapi juga terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, dan papan, serta layanan kesehatan dan pendidikan. Negara tidak hanya berperan sebagai regulator, tetapi juga sebagai penyedia kebutuhan rakyat.
Konsep Kepemilikan dalam Sistem Ekonomi Islam
Dalam kitab Nizamul Iqtsadi fil Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, terdapat penjelasan mengenai tiga jenis kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, yang terdiri dari:
1. Kepemilikan Individu (Milkiyah Fardiyah)
Ini adalah bentuk kepemilikan yang diberikan kepada individu untuk memiliki properti pribadi, seperti rumah, tanah, atau harta lainnya, selama harta tersebut diperoleh dengan cara yang halal dan sah menurut hukum Islam. Kepemilikan ini bersifat pribadi dan terbatas pada individu yang bersangkutan, namun tetap ada batasan terkait hak-hak sosial dan agama. Sebagai contoh, seorang Muslim harus membayar zakat atas kekayaannya yang melebihi nisab, yang menunjukkan bahwa kepemilikan individu tidak bersifat absolut, namun ada hak umat didalam harta seseorang yang berkemampuan.
2. Kepemilikan Umum (Milkiyah Amma)
Kepemilikan umum adalah sumber daya yang tidak dapat dimiliki oleh individu, tetapi dimiliki dan dikelola oleh negara untuk kepentingan umum. Ini termasuk hal-hal yang vital bagi masyarakat seperti air, tambang, hutan, padang rumput, dan sumber daya alam lainnya. Negara memiliki kewajiban untuk mengelola dan mendistribusikan hasil pengelolaan kepemilikan umum ini untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat. Dalam konteks ini, negara bertanggung jawab untuk memastikan distribusi yang adil dan merata kepada seluruh rakyat.
Rasulullah bersabda:
"Kaum Muslimin adalah pemilik bersama atas tiga hal: air, padang rumput, dan api."( HR. Abu Dawud)
Contoh penerapannya adalah negara yang mengelola tambang atau air untuk kepentingan publik, bukan untuk keuntungan individu atau perusahaan.
3. Kepemilikan Negara (Milkiyah Dawliyyah)
Kepemilikan negara adalah kepemilikan yang dimiliki oleh negara untuk kepentingan umum dan sosial. Berbeda dengan kepemilikan umum yang mencakup sumber daya vital, kepemilikan negara mencakup berbagai jenis aset atau lembaga yang dikelola oleh negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat. Ini bisa meliputi infrastruktur, fasilitas publik, dan sektor-sektor ekonomi yang memerlukan pengelolaan yang efisien dan adil.
Dalam hal ini, negara memiliki peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsi ekonomi secara aktif dan bertanggung jawab. Negara bertugas memastikan bahwa setiap warga negara dapat menikmati manfaat dari kepemilikan negara ini, baik dalam bentuk layanan publik, infrastruktur, atau sektor lainnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Misalnya, sektor pendidikan dan kesehatan yang dikelola oleh negara merupakan bentuk nyata dari kepemilikan negara.
Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara memungkinkan distribusi hasil kekayaan yang lebih merata. Contohnya, pengelolaan sumber daya alam seperti minyak dan gas dalam sistem Islam diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan keuntungan korporasi atau individu tertentu.
Tanggung Jawab Negara terhadap Kebutuhan Pokok
Dalam Islam, negara wajib memastikan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yaitu:
Pertama, kebutuhan sandang, pangan, papan. Setiap individu dijamin memiliki tempat tinggal, makanan, dan pakaian yang layak.
Kedua, layanan kesehatan. Negara menyediakan layanan kesehatan gratis atau dengan biaya minimal yang terjangkau.
Ketiga, pendidikan. Negara bertanggung jawab menyediakan akses pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat.
Sistem Islam memastikan kebutuhan dasar setiap individu terpenuhi melalui kebijakan distribusi yang adil, termasuk zakat, infak, sedekah, dan pengelolaan sumber daya alam.
Bukti Kesejahteraan pada Masa Kekhilafahan
Pada masa kekhilafahan, banyak bukti historis menunjukkan bagaimana Islam berhasil menciptakan kesejahteraan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khattab misalnya , distribusi zakat begitu efektif hingga sulit menemukan orang miskin yang layak menerima zakat.
Kemudian pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yaitu dalam 2,5 tahun pemerintahannya, kesejahteraan begitu merata sehingga masyarakat tak lagi membutuhkan zakat.
Islam mengatur agar negara menggunakan Baitul Mal sebagai lembaga keuangan untuk mengelola pendapatan negara dan mendistribusikannya kepada rakyat.
Islam memiliki sistem yang holistik dan kaffah dalam menjamin kesejahteraan rakyat. Negara bertindak sebagai pengurus yang aktif memastikan kebutuhan individu terpenuhi melalui pengelolaan sumber daya yang adil dan bertanggung jawab.
Pendekatan ini sangat kontras dengan kapitalisme yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi kolektif tanpa memerhatikan keadilan individu.
Dengan menerapkan sistem Islam secara kaffah dalam naungan daulah khilafah islamiyyah, kesejahteraan sejati dapat terwujud, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah.
_Editor : Vindy Maramis_