Peran Perempuan dalam Politik: Antara Demokrasi dan Sistem Islam

Admin Beritanusaindo
0

 


Ilustrasi gambar: Warmadewa University Press 



Demokrasi dalam praktiknya sering dimanfaatkan oleh oligarki, menjadikan perempuan sebagai komoditas politik. Jumlah suara perempuan yang besar menjadi sasaran utama dalam setiap pemilu, namun keberpihakan pada perempuan sering kali hanya sekedar janji politik. 



Mutiara Islami

 Pegiat Pena Banua



Beritanusaindo.my.id - OPINI - Partisipasi pemilih perempuan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) diupayakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Privinsi kalimantan (Kesbangpol Kalsel) agar meningkat. Kepala badan kesbangpol Provinsi Kalsel Heriansyah di Banjarmasin mengatakan bahwa peningkatan partisipasi perempuan tersebut melalui kegiatan edukasi dan sosialisai Pilkada serentak tahun 2024. Dia menyebutkan bahwa peran perempuan mempunyai peran yang sangat startegis untuk memberi warna penyeimbang bagi dunia politik terkait kesetaraan gender, hungan sosial, politik, ekonomi dan kemasyarakatan. (Koran Jakarta, 15/11/2024)


Kesejahteraan perempuan saat ini memang menjadi perhatian khusus. Berbagai upaya juga sudah dilakukan oleh pemimpin saat ini. Sayangnya, pemerintah hanya memahami bahwa kesejahteraan ibu terletak pada besar kecilnya keuangan mereka. Terlebih lagi tentang kesetaraan gender yang merupakan ide yang digagas Barat di dunia Islam. Hal ini merupakan bagian dari penjajahan barat terhadap kaum muslim. 


Melalui ide gender, Barat mengeksploitasi semua potensi perempuan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi korporatokrasi. Para muslimah berbondong-bondong meninggalkan keluarga dan mengisi dunia kerja dengan upah yang rendah. Negara yang menerapkan sistem demokrasi makin abai terhadap nasib rakyatnya sehingga perempuan harus menjadi tulang punggung bagi keluarga. 


Akhirnya, kesejahteraan masih jauh dari apa yang diinginkan. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang diadopsi oleh kapitalisme tidak mampu menyediakan rasa aman, nyaman, dan tenang bagi perempuan dan anak. Pasalnya, demokrasi nyatanya menjadi tempat eksis para oligarki. 


Demokrasi dalam praktiknya sering dimanfaatkan oleh oligarki, menjadikan perempuan sebagai komoditas politik. Jumlah suara perempuan yang besar menjadi sasaran utama dalam setiap pemilu, namun keberpihakan pada perempuan sering kali hanya sekedar janji politik. 


Dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam dikuasai segelintir pengusaha dengan dukungan legislasi pemerintah, termasuk perempuan yang menduduki posisi legislatif. Artinya, dalam hal ini perempuan justru turut melahirkan kebijakan yang menyengsarakan. 


Hal ini terjadi karena penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan setiap kebijakan hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha, baik kebijakan tersebut dibuat oleh laki-laki ataupun perempuan. mengharapkan perempuan sejahtera dengan keterwakilan perempuan di kabinet dan lembaga legislatif merupakan perkara yang mustahil terwujud. 


Oleh karena itu, fokus perubahan yang harus diusung kaum perempuan dan menerapkan sistem yang menyejahterakan perempuan, yaitu sistem Islam.


Islam memandang persoalan laki-laki dan perempuan bukan sekadar dari sudut pandang gender, akan tetapi dari perspektif bahwa keduanya sama-sama manusia yang memiliki potensi kehidupan, yaitu kebutuhan jasmani dan naluri (garizah) yang harus dipenuhi. 


Islam mengatur pemenuhan tersebut berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah. Maka, aturan Islam tidak berpihak pada golongan tertentu. Syariat Islam bersifat adil dan menyejahterakan laki-laki maupun perempuan. 


Allah Swt. berfirman: ”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal diantara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.” (TQS. Ali Imran:195)


Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna memiliki sistem pemerintahan yang khas, yaitu khilafah. Khilafah akan mengambil hukum Islam sebagai aturan.Perempuan dan anak dalam pandangan islam merupakan bagian dari masyarakat. Jadi, ketika khalifah mengambil kebijakan untuk menyejahterakan masyarakat, maka perempuan dan anak secara otomatis ikut di dalamnya.


Bukan keterwakian perempuan yang sejatinya menjadi tujuan penyejahteraan perempuan, tetapi penerapan syariat Islan kaffah di bawah naungan Khilafahlah yang menjadikan perempuan sejahtera. Oleh karena itu, kesejahteraan perempuan sejatinya tidak bergantung pada keterwakilan mereka dalam politik, melainkan pada penerapan sistem Islam yang menyeluruh. Hanya dengan kembali kepada aturan Allah, perempuan dapat hidup mulia dan sejahtera.

Wallahu a'lam bi ash-shawwab. [Rens]


Disclaimer: Beritanusaindo adalah sarana edukasi masyarakat. Silahkan kirimkan tulisan anda ke media kami. Beritanusaindo akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa opini, SP, puisi, cerpen, sejarah Islam, tsaqafah Islam, fiqih, olah raga, story telling, makanan, kesehatan, dan tulisan lainnya. Dengan catatan tulisan tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam, hoax, dan mengandung ujaran kebencian. Tulisan yang dikirim dan dimuat di media Beritanusaindo sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)