Musibah Banjir, Saatnya Muhasabah

Admin BeritaNusaIndo
0
Ilustrasi: Kawasan Banjir.
Sumber: iStock 

Oleh : Rahmi Lubis

Kota Medan, Sumatera Utara, dilanda bencana banjir bandang akibat meluapnya tiga sungai utama, yaitu Sungai Deli, Sungai Babura, dan Sungai Sei Belawan, Rabu (27/11). 

Luapan sungai ini, dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi dalam beberapa hari terakhir, telah merendam ribuan rumah dan memengaruhi hampir 25.000 jiwa. Menurut data BPBD Kota Medan, sebanyak 24.874 jiwa terdampak banjir, dengan 7.699 rumah terendam air. Warga yang terkena dampak tersebar di 10 kecamatan, termasuk Medan Johor, Medan Maimun, Medan Sunggal, dan Medan Amplas. 

Apakah banjir yang terjadi adalah musibah atau bencana akibat ulah manusia?. Bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi situasi ini?

Muhasabah Diri

Banjir merupakan luapan air yang tak terbendung oleh resapan tanah. Namun harus dipastikan, apakah luapan air terlalu besar hingga tidak bisa terserap oleh tanah atau malah aliran air yang tak tentu arah dikarenakan eksploitasi tanah yang berlebihan. 

Berdasarkan keterangan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, kerusakan hutan di daerah Karo, Sumatera Utara mencapai 30.000 hektare. Kawasan hutan yang rusak itu terbentang dari daerah aliran sungai (DAS) Deli dan DAS Belawan yang masing-masing seluas 15.000 hektare. Namun meski hutan seluas itu mengalami kerusakan, anggaran untuk reboisasi hampir tidak ada. Fakta ini cukup menjadi dasar pemikiran kita bahwasanya banjir terjadi bukan karena hujan namun akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab.

Islam sebagai Solusi

Hujan merupakan peristiwa alam yang terjadi secara alami dalam kehidupan manusia. Bahkan, dalam Islam, Allah mengabarkan bahwa hujan merupakan rejeki bagi manusia yang diberikan oleh Allah SWT. Ketika hujan turun, kaum muslimin diarahkan untuk berdoa. 

Dalam hadist, Ibnu Qudamah Al Mughni mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ

Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : bertemunya dua pasukan, menjelang shalat dilaksanakan, dan saat hujan turun.”

Jadi, banjir bukan semata karena musibah yang dengan sengaja diturunkan Allah, namun banjir yang dihadapi kali ini agar manusia bisa berintrospeksi diri atas kesalahan yang dilakukan. 

Salah satu bukti nyata atas kesalahan yang dibuat oleh manusia adalah dengan membuat aturan kehidupan yang bukan berasal dari Allah SWT namun dari hawa nafsu atau keinginan semu manusia. Sistem sekuler kapitalisme menjadi bukti kehidupan manusia yang kian merusak baik dari segi fitrahnya manusia maupun kehidupan sekitar alam. 

Pengelolan sumber daya alam yang tak mengarah pada kelestarian, Pembangunan yang tak merata, bahkan pembentukan karakter pemimpin yang semakin rakus akan kekuasaan dan tak lagi memikirkan kesejahteraan rakyat menjadi kompleksitas atas problematika kehidupan manusia saat ini. 

Maka banjir kali ini harus kita jadikan muhasabah untuk memperbaiki segala kerusakan dengan kembali kepada fitrahnya manusia yaitu kembali pada aturan hidup dari Sang Pencipta. 

Sistem khilafah Islamiyah merupakan sistem kehidupan yang berasal dari Allah SWT. Landasan hukum dan aturan berdasarkan hukum syariat bukan hawa nafsu semata. Jadi masihkah kita bertahan atas sistem yang rusak ini sementara ada sistem kehidupan paripurna yang membawa seluruh umat manusia dalam peradaban yang gemilang?.

Wallahu'alam bishawab.


_Editor : Vindy Maramis_

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)