Ilustrasi: Guru Sedang Mengajar Sumber : iStock |
Oleh : Rahmi Lubis, S.Pd
Pemerintah resmi mengumumkan kenaikan gaji guru, Aparatur Sipil Negara (ASN) dan non-ASN, yang dimulai pada tahun 2025. Hal itu disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto pada Puncak Hari Guru Nasional 2024 di Jakarta International Velodrom, Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis (28/11/2024).
Kenaikan gaji guru ini sebesar satu kali gaji untuk guru ASN dan Rp 2 juta untuk guru non-ASN yang telah ikut sertifikasi/pendidikan profesi guru (PPG). Tahun 2025 anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan Non-ASN naik sekitar 16,7 triliun, menjadi Rp 81,6 triliun.
Seperti oase di gurun pasir, hal ini sangat menggembirakan bagi dunia pendidikan terutama para pendidik yang termasuk pada 3 golongan ini. Walaupun kebijakan ini dinilai tebang pilih karena tidak semua guru yang mendapatkan bantuan kenaikan gaji tersebut.
Namun, apakah kenaikan gaji guru ini bisa menyejahterakan nasib para guru kedepannya?.
Kenaikan Gaji Guru hanya Bayangan Semu Kesejahteraan
Kenaikan gaji memang sangat dinanti pada sistem sekuler-kapitalisme saat ini. Namun sejatinya pendidikan yang seharusnya merupakan faktor penting perubahan negara, kini semua itu sirna, ketika tujuan pendidikan tidak lagi bersandar pada hakikat tujuan yang sebenarnya.
Sistem sekuler yang berlandaskan pemisahan agama dari kehidupan sejatinya tidak akan bersinergi dengan dunia pendidikan. Sistem ini jelas membentuk tujuan pendidikan menjadi asas materialisme. Pendidikan dalan sistem ini hanya berkiblat pada manfaat. Salah dan benar hanya ditentukan oleh kekuasaan.
Lantas dengan menaikkan gaji namun disertai dengan kenaikan pajak dan harga bahan pokok, serta mahalnya biaya pendidikan tidak akan pernah berpengaruh apapun pada kesejahteraan.
Maka, kebijakan kenaikan gaji guru dan berbagai upaya yang dilakukan pemerintah guna meningkatkan kualitas guru hanyalah paradoks saja. Faktanya, masih banyak nasib guru honorer yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Contohnya saja gaji bulanan Aldi sebagai guru honorer sebesar Rp700 ribu. Nominal ini amat jauh dari standar UMP di daerah Aldi tinggal, Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Bahkan, kenaikan gaji guru juga tidak bisa dirasakan oleh Aldi karena tidak termasuk persyaratan yang disebutkan pemerintah.
Islam Memuliakan Guru
Penghargaan Islam terhadap aktivitas belajar sebenarnya sudah tampak sejak Umar bin Al-Khattab memegang tampuk kekhalifahan.
Di masanya, beliau memberikan gaji rutin kepada warga yang mau menghapal dan mempelajari Al-Qur’an. Pada masa Daulah Umawiyyah, khalifah Umar bin Abdul Aziz juga mengambil kebijakan yang sangat menghargai aktivitas belajar-mengajar. Ketika itu beliau mengundang ulama-ulama untuk mengajari anak-anak suku Arab pedalaman tentang persoalan agama dan memberikan mereka gaji rutin.
Beberapa ulama yang turut mengajar para putra khalifah adalah Imam Al-Kisa’i yang mengajar putra Harun Al-Rasyid. Sebagai upah awal, sang khalifah memberinya 10.000 dirham, beberapa pelayan, dan seekor kuda pembawa barang beserta peralatannya. Bayaran yang melimpah juga diberikan kepada Ibnu As-Sikkit yang mengajar putra-putra khalifah Al-Mutawakkil. Beliau diberi upah mencapai 50.000 dinar di luar gaji rutin sepanjang hidup, tempat tinggal, makanan, dan hadiah-hadiah lainnya.
Kesejahteraan guru hanya bisa tercipta jika sebuah negara menerapkan sistem kehidupan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah Islamiyah.
Wallahua'lam bishawab.
_Editor : Vindy Maramis_