Ilustrasi bahasa (sumber: freeepik) |
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih
Institut Literasi dan Peradaban
Berbagai situs dan platform media bergiliran memberitakan sosok yang lagi-lagi mengaku wali. Baik berupa tulisan maupun video “dakwah” Sang wali , kali ini aktornya Abuya Ghufron Al-Bantani disapa Abuya Mama Ghufron, mengaku wali dan telah merilis 500 kitab yang bertuliskan Bahasa Suryani. Ia juga mengaku bisa bahasa semut , jin hingga malaikat. Bisa mengubah air biasa menjadi air Zam-zam dan lain sebagainya ( tvonenews.com, 13/6/2024).
Tak sedikit yang geli, videonya terus bergulir entah dengan maksud melecehkan atau memuji, yang jelas semakin viral.
Aktivis Islam, Farid Idris justru melihat ajaran Mama Ghufron di YouTube isinya sesat. Dan meresahkan masyarakat sehingga menurutnya harus segera ada tindakan dari pihak pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) agar masyarakat tidak terpengaruh, sebab lemahnya pemahaman masyarakat terhadap Islam (suaranasional.com,19/6/2024).
Demokrasi Menyuburkan Penistaan Agama
Entah yang beberapa, penistaan agama kembali terjadi. Seolah ada normalisasi atas ketidakberesan ini, video tersebar berantai, makin banyak yang melihat makin viral, tak ada yang merasa risih dan perlu bertindak.
Penyebabnya jelas karena tidak adanya sanksi tegas dan menjerakan sehingga tak mampu mencegah kejadian serupa. Umat pun terancam bahaya yang dapat merusak akidahnya. Kecaman dari pihak yang konsisten mensyiarkan Islam justru tenggelam bersama diamnya penguasa. Ironi, negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia, tak bergeming melihat penistaan demi penistaan yang terjadi.
Di sisi lain, faham kebebasan berperilaku dan berpendapat yang diakui dalam sistem hidup hari ini, sekulerisme-demokrasi menjadikan hal serupa akan mudah terjadi. Akibatnya penistaan agama dapat tumbuh subur bak jamur di musim penghujan tak terbendung.
Kementerian agama tak banyak bertindak, terlebih pernah mengatakan lembaganya adalah untuk semua agama. Penyamaan pendapat semua agama sama dan tidak ada yang lebih unggul adalah bentuk kesesatan lainnya. Yang kemudian banyak melahirkan kebijakan tak ramah kepada Islam, seperti moderasi beragama, toleransi dan monsterisasi Islam itu sendiri.
Secara akidah, semestinya kaum muslim meyakini dengan kokoh bahwa hanya Islam yang layak mengatur kehidupan manusia, sebagaimana firman Allah yang artinya, “...Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu...” (TQS Al Madinah:3).
Rasulullah saw. Juga bersabda, “Islam itu agama yang tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripada Islam.” (HR Baihaqi).
Bukankah bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri ketika kita mendiamkan para penista agama bahkan dengan legitimasi hukum kebebasan berpendapat dan berperilaku?
Penista Agama Akan Mendapatkan Keadilan Dalam Islam
Islam memandang, setiap perbuatan manusia ditetapkan As-Syari ( pembuat hukum, Allah Swt.) wajib terikat dengan hukum syara. Oleh karenanya, ketika ada kekuasaan harusnya menjadikannya sebagai wasilah menerapkan hukum-hukum Allah secara Kaffah.
Dalam hal ini, pemegang kekuasaan adalah rakyat yang mewakilkannya pada institusi negara. Maka otomatis Islam menjadikan negara sebagai penjaga akidah umat dan menetapkan semua perbuatan terikat hukum syara. Tidak ada kebebasan dalam berbuat dan berbicara. Pelanggaran hukum syara adalah kemaksiatan, yang ada sanksi tegas dan menjerakan dari negara.
Imam Al-Ghazali berkata, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan adalah penjaganya, apa saja yang tanpa fondasi akan hancur, dan apa saja yang tanpa penjagaan akan hilang. Tidak sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.”
Maka, jika para penista itu tidak menghentikan perbuatannya negara bisa menjatuhi hukuman mati kepadanya. Namun barat dalam hal ini telah mengungkung dunia muslim dengan Hak Asasi Manusia (HAM), padahal itulah racun sesungguhnya yang diupayakan barat melemahkan ghirah perjuangan kaum muslim untuk terus meninggikan kalimat Allah dan menjadikannya berkuasa di muka bumi ini untuk kali kedua.
Sistem pendidikan dalam Islam juga akan sangat berpengaruh dalam rangka membangun keimanAn yang kuat hingga terlahir generasi yang berkepribadian Islam yang kuat dan selalu memuliakan Islam sekaligus bermanfaat bagi umat. Landasan kurikulum pendidikan Islam adalah akidah Islam, bukan yang lain.
Pertanyaannya, sampai kapan kita menerapkan hukum Jahiliyah yang akan terus menerus memproduksi penista agama hingga muslim munafik? “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS Al Madinah:50). Wallahualam bissawab.